Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis
adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang
berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau
bahan iritan lain. Secara
hispatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel.
Sedangkan, menurut Lindseth dalam Prince (2005: 422), gastritis adalah
suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat
bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.
Gastritis adalah
suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh
ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau
makan makanan yang terlalu berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang
lain seperti alkohol, aspirin, refluks empedu atau terapi radiasi
(Brunner, 2000 : 187).
Dari
defenisi-defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah
suatu peradangan atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan
oleh faktor iritasi, infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan,
misalnya telat makan, makan terlalu banyak, cepat, makan makanan yang
terlalu banyak bumbu dan pedas. Hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya gastritis.
Gastritis berarti peradangan mukosa lambung. Peradangan dari gastritis dapat hanya superficial atau
dapat menembus secara dalam ke dalam mukosa lambung, dan pada
kasus-kasus yang berlangsung lama menyebabkan atropi mukosa lambung yang
hampir lengkap. Pada beberapa kasus, gastritis dapat menjadi sangat
akut dan berat, dengan ekskoriasi ulserativa mukosa lambung oleh sekresi
peptik lambung sendiri (Guyton, 2001).
Secara garis
besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan pada
manifestasi klinis, gambaran hispatologi yang khas, distribusi anatomi,
dan kemungkinan patogenesis gastritis. Didasarkan pada manifestasi
klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Harus diingat,
bahwa walaupun dilakukan pembagian menjadi akut dan kronik, tetapi
keduanya tidak saling berhubungan. Gastritis kronik bukan merupakan
kelanjutan gastritis akut (Suyono, 2001).
1.1 Gastritis Akut
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan sembuh sempurna (Prince, 2005: 422). Gastritis akut terjadi akibat respons mukosa lambung terhadap berbagai iritan lokal. Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus merupakan penyakit yang ringan.
Bentuk
terberat dari gastritis akut disebabkan oleh mencerna asam atau alkali
kuat, yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi.
Pembentukan jaringan parut dapat terjadi yang mengakibatkan obstruksi
pylorus (Brunner, 2000).
Salah satu bentuk
gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang
berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut
gastritis hemoragik karena pada penyakit ini akan dijumpai perdarahan
mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi drosi yang berarti
hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai
inflamasi pada mukosa lambung tersebut (Suyono, 2001: 127).
1.1.1 Gastritis Akut Erosif
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127),
gastritis akut erosif adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung
yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosi. Disebut erosi apabila
kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis.
Penyakit ini dijumpai di klinik, sebagai akibat efek samping dari
pemakaian obat, sebagai penyulit penyakit-penyakit lain atau karena
sebab yang tidak diketahui.
Perjalanan
penyakitnya biasanya ringan, walaupun demikian kadang-kadang dapat
menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran cerna bagian
atas. Penderita gastritis akut erosif yang tidak mengalami pendarahan
sering diagnosisnya tidak tercapai (Suyono, 2001).
Untuk menegakkan
diagnosis tersebut diperlukan pemerisaan khusus yang sering dirasakan
tidak sesuai dengan keluhan penderita yang ringan saja. Diagnosis
gastritis akut erosif, ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi biopsi mukosa lambung
(Suyono, 2001).
2.1.1.2 Gastritis Akut Hemoragik
Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik;
Pertama diperkirakan karena minum alkohol atau obat lain yang
menimbulkan iritasi pada mukosa gastrik secara berlebihan (aspirin atau
NSAID lainnya). Meskipun pendarahan mungkin cukup berat, tapi pendarahan
pada kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara spontan dan
mortalitas cukup rendah. Kedua adalah stress gastritis yang dialami pasien di Rumah Sakit, stress gastritis dialami pasien yang mengalami trauma berat berkepanjangan, sepsis terus menerus atau penyakit berat lainnya (Suyono, 2001).
Erosi stress
merupakan lesi hemoragika pungtata majemuk pada lambung proksimal yang
timbul dalam keadaan stress fisiologi parah dan tak berkurang. Berbeda
dengan ulserasi menahun yang lebih biasa pada traktus gastrointestinalis
atas, ia jarang menembus profunda ke dalam mukosa dan tak disertai
dengan infiltrasi sel radang menahun. Tanpa profilaksis efektif, erosi
stress akan berlanjut dan bersatu dalam 20% kasus untuk membentuk
beberapa ulserasi yang menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas
dari keparahan yang mengancam nyawa. Keadaan ini dikenal sebagai
gastritis hemoragika akuta (Sabiston, 1995: 525).
1.2 Gastritis Kronik
Disebut
gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada
lamina propria dan daerah intra epitelial terutama terdiri atas sel-sel
radang kronik, yaitu limfosit dan sel plasma. Gastritis
kronis didefenisikan secara histologis sebagai peningkatan jumlah
limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung. Derajat paling ringan
gastritis kronis adalah gastritis superfisial kronis, yang mengenai
bagian sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang lebih parah
juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam, hal ini biasanya berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 522).
Sebagian
besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu
tipe A yang merupakan gastritis autoimun yang terutama mengenai tubuh
dan berkaitan dengan anemia pernisiosa; dan tipe B yang terutama
meliputi antrum dan berkaitan dengan infeksi Helicobacter pylori. Terdapat beberapa kasus gastritis kronis yang tidak tergolong dalam kedua tipe tersebut dan penyebabnya tidak diketahui (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronik dapat dibagi dalam berbagai bentuk tergantung pada kelainan histologi, topografi, dan etiologi yang menjadi dasar pikiran pembagian tersebut (Suyono, 2001).
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 128), klasifikasi histologi yang sering digunakan membagi gastritis kronik menjadi :
1. Gastritis kronik superficial
Apabila
dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas pada lamina propria
mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa,
sedangkan sel-sel kelenjar tetap utuh. Sering dikatakan gastritis
kronik superfisialis merupakan permulaan gastritis kronik.
2. Gastritis kronik atrofik
Sebukan
sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan
destruksi sel kelenjar mukosa lebih nyata. Gastritis atrofik dianggap
sebagai kelanjutan gastritis kronik superfisialis.
3. Atrofi lambung
Atrofi
lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat
itu struktur kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara
nyata dengan jaringan ikat, sedangkan sebukan sel-sel radang juga
menurun. Mukosa menjadi sangat tipis sehingga dapat menerangkan mengapa
pembuluh darah menjadi terlihat saat pemeriksaan endoskopi.
4. Metaplasia intestinal
Suatu
perubahan histologis kelenjar-kelenjar mukosa lambung menjadi
kelenjar-kelenjar mukosa usus halus yang mengandung sel goblet.
Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi secara menyeluruh pada hampir
seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan bercak-bercak
pada beberapa bagian lambung.
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), distribusi anatomis pada gastritis kronik dapat dibagi menjadi tifa bagian, yaitu :
1. Gastritis Kronis Tipe A
Gastritis
kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
adanya autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor
intrinsik, dan berkaitan dengan tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan sekresi asam dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam
keadaan sangat berat, tidak terjadi produksi faktor intrinsik. Anemia
pernisiosa seringkali dijumpai pada pasien karena tidak tersedianya
faktor intrinsik untuk mempermudah absorpsi vitamin B12 dalam ileum (Prince, 2005: 423).
Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan absorpsi vitamin B12 karena
kekurangan faktor intrinsik akibat gastritis kronis autoimun.
Autoimunitas secara langsung menyerang sel parietal pada korpus dan
fundus lambung yang menyekresikan faktor intrinsik dan asam (Chandrasoma, 2005 : 522).
Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfo-plasmasitik
pada mukosa sekitar sel parietal, yang secara progresif berkurang
jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan tidak didapati Helicobacter pylori.
Mukosa fundus dan korpus menipis dan kelenjar-kelenjar dikelilingi oleh
sel mukus yang mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia
intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth. Pada
stadium akhir, mukosa menjadi atrofi dan sel parietal menghilang
(gastritis kronis tipe A) (Chandrasoma, 2005 : 522).
2. Gastritis Kronis Tipe B
Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis
antral karena umumnya mengenai daerah antrum lambung dan lebih sering
terjadi dibandingkan dengan gastritis kronis tipe A. Gastritis kronis
tipe B
lebih sering terjadi pada penderita yang berusia tua. Bentuk gastritis
ini memiliki sekresi asam yang normal dan tidak berkaitan dengan anemia
pernisiosa. Kadar gastrin yang rendah sering terjadi. Penyebab utama
gastritis kronis tipe B adalah infeksi kronis oleh Helicobacter pylori.
Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol yang
berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan kofaktor Helicobacter pylori (Prince, 2005: 423).
Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian antrum, yang merupakan tempat predileksi Helicobacter pylori. Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan limfoplasmasitik pada mukosa lambung superfisial. Infeksi aktif Helicobacter pylori
hampir selalu berhubungan dengan munculnya nertrofil, baik pada lamina
propria ataupun pada kelenjar mukus antrum. Pada saat lesi berkembang,
peradangan meluas yang meliputi mukosa dalam dan korpus lambung.
Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebabkan destruksi kelenjar mukus
antrum dan metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis tipe B) (Chandrasoma, 2005 : 523).
Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter pylori
pada pemeriksaan histologis atau kultur biopsi. Pada banyak pasien yang
tidak didapati organisme ini, pemeriksaan serologisnya memperlihatkan
antibodi terhadap Helicobacter pylori, yang menunjukkan sudah ada infeksi Helicobacter pylori sebelumnya (Suyono, 2001).
Helicobacter pylori
adalah organisme yang kecil dan melengkung, seperti vibrio, yang muncul
pada lapisan mukus permukaan yang menutupi permukaan epitel dan lumen
kelenjar. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyerang sel permukaan, menyebabkan deskuamari sel yang dipercepat dan menimbulkan respon sel radang kronis pada mukosa lambung. Helicobacter pylori ditemukan lebih dari 90% dari hasil biopsi yang menunjukkan gastritis kronis. Organisme ini dapat dilihat pada irisan rutin, tetapi lebih jelas dengan pewarnaan perak Steiner atau Giemsa. Keberadaan Helicobacter pylori
berkaitan erat dengan peradangan aktif dengan netrofil. Organisme dapat
tidak ditemukan pada pasien gastritis akut inaktif, terutama bila
terjadi metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 524).
3. Gastritis kronis tipe AB
Gastritis kronis
tipe AB merupakan gastritis kronik yang distribusi anatominya menyebar
keseluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus tersebut cendrung meningkat
dengan bertambahnya usia (Suyono, 2001: 130).
2 Anatomi dan Fisiologi
2.1 Anatomi Lambung
Lambung
terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
daerah epigastrik, di bawah diafragma dan di depan pankreas. Dalam
keadaan kosong, lambung
menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir
raksasa. Kapasitas normal lambung adalah 1 samapi 2 L (Prince, 2005). Secara anatomis lambung terdiri atas empat bagian, yaitu: cardia, fundus, body atau
corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung terdiri atas
beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan
serosa. Lambung berhubungan dengan usofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui orifisium pilorik (Ganong, 2001).
Mukosa
lambung mengandung banyak kelenjar dalam. Di daerah pilorus dan kardia,
kelenjar menyekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus,
kelenjar mengandung sel parietal (oksintik), yang menyekresikan asam
hidroklorida dan faktor intrinsik, dan chief cell
(sel zimogen, sel peptik), yang mensekresikan pepsinogen.
Sekresi-sekresi ini bercampur dengan mukus yang disekresikan oleh
sel-sel di leher kelenjar. Beberapa kelenjar bermuara keruang bersamaan
(gastric pit) yang kemudian terbuka kepermukaan mukosa. Mukus juga
disekresikan bersama HCO3- oleh sel-sel mukus di permukaan epitel antara kelenjar-kelenjar (Ganong, 2001).
Persarafan
lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen
melalui saraf vagus. Persarafan
simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka.
Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah
epigastrium abdomen. Serabut-serabut eferen simpatis menghambat
motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (auerbach) dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Prince, 2005).
Seluruh
suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa)
terutama berasal dari arteri siliaka atau trunkus seliakus, yang
mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan mayor.
Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum (Prince, 2005).
2.2 Fisiologi Lambung
Lambung
merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti
kantung, dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh
asam klorida (HCl) dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, dan lipase.
Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan dan fungsi
motorik. Sebagai
fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein oleh pepsin dan
HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang
dimakan, sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung
serta sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi
bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus yang berperan sebagai barier
dari asam lumen dan pepsin. Fungsi
motorik lambung terdiri atas penyimpanan makanan sampai makanan dapat
diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan asam lambung, hingga
membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan dari lambung ke dalam
usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam
usus halus (Prince, 2005).
Lambung
akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk
mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan
pencampuran makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus kemudian
dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan
sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya
adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian
besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH
yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu
dan cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan
kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak
mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung
mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).
Sekresi
asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang
bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan
parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon
gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat tiga fase yang menyebabkan
sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung
terjadi meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau
merasakan makanan. Kedua, fase gastrik, ketika makanan masuk lambung
akan merangsang mekanisme sekresi asam lambung yang berlangsung selama
beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam lambung. Ketiga, fase
intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai
mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun
dalam kondisi tidur. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi
sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung
mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong, 2001).
2.3 Faktor-faktor Penyebab Gastritis
2.3.1 Pola Makan
Menurut Yayuk Farida Baliwati (2004), terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh pola makan yang tidak baik dan tidak teratur, yaitu frekuensi makan, jenis, dan jumlah makanan, sehingga lambung menjadi sensitif bila asam lambung meningkat.
1. Frekuensi Makan
Frekuensi
makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan
kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui
alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Lama makanan
dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-rata,
umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun
menyesuaikan dengan kosongnya lambung (Okviani, 2011).
Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis.
Pada saat perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda
pengisiannya, asam lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung,
sehingga timbul rasa nyeri (Ester, 2001).
Secara
alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam
jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa
dalam darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan
merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam lambung terstimulasi. Bila
seseorang telat makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi
semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung
serta menimbulkan rasa nyeri di seitar epigastrium (Baliwati, 2004).
Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal itu
berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi
tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala
tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar
(Nadesul, 2005).
Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik,
yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks
akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan
memikirkan makanan dapat merangsang sekresi asam lambung (Ganong 2001).
2. Jenis Makanan
Jenis
makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan
diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan
seimbang. Menyediakan variasi makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat menyebabkan gangguan pencernaan, seperti halnya makanan pedas (Okviani, 2011).
Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati
yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut membuat penderita
makin berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan
pedas lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut dengan gastritis (Okviani, 2011).
Gastritis dapat
disebabkan pula dari hasil makanan yang tidak cocok. Makanan tertentu
yang dapat menyebabkan penyakit gastritis, seperti buah yang masih
mentah, daging mentah, kari, dan makanan yang banyak mengandung krim
atau mentega. Bukan berarti makanan ini tidak dapat dicerna, melainkan
karena lambung membutuhkan waktu yang labih lama untuk mencerna makanan
tadi dan lambat meneruskannya kebagian usus selebih-nya. Akibatnya, isi
lambung dan asam lambung tinggal di dalam lambung untuk waktu yang lama
sebelum diteruskan ke dalam duodenum dan asam yang dikeluarkan
menyebabkan rasa panas di ulu hati dan dapat mengiritasi (Iskandar,
2009).
3. Porsi Makan
Porsi atau jumlah merupakan suatu ukuran maupun takaran makanan yang dikonsumsi pada tiap kali makan.
Setiap orang harus makan makanan dalam jumlah benar sebagai bahan bakar
untuk semua kebutuhan tubuh. Jika konsumsi makanan berlebihan,
kelebihannya akan disimpan di dalam tubuh dan menyebabkan obesitas
(kegemukan). Selain itu, Makanan dalam porsi besar dapat menyebabkan refluks isi lambung, yang pada akhirnya membuat kekuatan dinding lambung menurun. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan peradangan atau luka pada lambung (Baliwati, 2004).
3.2 Kopi
Menurut Warianto (2011), kopi adalah minuman yang terdiri dari berbagai jenis bahan dan senyawa kimia; termasuk lemak, karbohidrat, asam amino, asam nabati yang disebut dengan fenol, vitamin dan mineral.
Kopi
diketahui merangsang lambung untuk memproduksi asam lambung sehingga
menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi lambung.
Ada dua unsur yang bisa mempengaruhi kesehatan perut dan lapisan
lambung, yaitu kafein dan asam chlorogenic.
Studi
yang diterbitkan dalam Gastroenterology menemukan bahwa berbagai faktor
seperti keasaman, kafein atau kandungan mineral lain dalam kopi bisa
memicu tingginya asam lambung. Sehingga tidak ada komponen tunggal yang
harus bertanggung jawab (Anonim, 2011).
Kafein
dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak),
sistem pernapasan, serta sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab
itu tidak heran setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir),
tubuh kita terasa segar, bergairah, daya pikir lebih cepat, tidak mudah
lelah atau mengantuk. Kafein
dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat sehingga dapat
meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon gastrin pada lambung
dan pepsin. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek
sekresi getah lambung yang sangat asam dari bagian fundus lambung.
Sekresi asam yang meningkat dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada
mukosa lambung (Okviani, 2011).
Jadi, gangguan pencernaan yang rentan dimiliki oleh orang yang sering minum kopi adalah gastritis (peradangan pada lapisan lambung). Beberapa
orang yang memilliki gangguan pencernaan dan ketidaknyamanan di perut
atau lambung biasanya disaranakan untuk menghindari atau membatasi minum
kopi agar kondisinya tidak bertambah parah (Warianto, 2011).
3.3 Teh
Hasil penelitian Hiromi Shinya, MD., dalam buku “The Miracle of Enzyme”
menemukan bahwa orang-orang Jepang yang meminum teh kaya antioksidan
lebih dari dua gelas secara teratur, sering menderita penyakit yang
disebut gastritis. Sebagai contoh Teh Hijau, yang mengandung banyak
antioksidan dapat membunuh bakteri dan memiliki efek antioksidan
berjenis polifenol yang mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas
yang merusak. Namun, jika beberapa antioksidan bersatu akan membentuk
suatu zat yang disebut tannin. Tannin inilah yang menyebabkan beberapa
buah dan tumbuh-tumbuhan memiliki rasa sepat dan mudah teroksidasi (Shinya, 2008).
Tannin merupakan
suatu senyawa kimia yang memiliki afinitas tinggi terhadap protein pada
mukosa dan sel epitel mukosa (selaput lendir yang melapisi lambung).
Akibatnya terjadi proses dimana membran mukosa akan mengikat lebih kuat
dan menjadi kurang permeabel. Proses tersebut menyebabkan peningkatan
proteksi mukosa terhadap mikroorganisme dan zat kimia iritan. Dosis
tinggi tannin menyebabkan efek tersebut berlebih sehingga dapat
mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus (Shinya, 2008).
Selain
itu apabila Tannin terkena air panas atau udara dapat dengan mudah
berubah menjadi asam tanat. Asam tanat ini juga berfungsi membekukan
protein mukosa lambung. Asam
tanat akan mengiritasi mukosa lambung perlahan-lahan sehingga sel-sel
mukosa lambung menjadi atrofi. Hal inilah yang menyebabkan orang
tersebut menderita berbagai masalah lambung, seperti gastritis atrofi,
ulcus peptic, hingga mengarah pada keganasan lambung (Shinya, 2008).
3.4 Rokok
Rokok
adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang
rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti
racun. Dalam asap rokok yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia
berbahaya seperti gas karbon monoksida, nitrogen oksida, amonia,
benzene, methanol, perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen,
bensaldehid, arsen, benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol, nitrosamin,
nikotin, tar, dan lain-lain. Selain nikotin, peningkatan paparan
hidrokarbon, oksigen radikal, dan substansi racun lainnya turut
bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok terhadap kesehatan (Budiyanto, 2010).
Efek
rokok pada saluran gastrointdstinal antara lain melemahkan katup
esofagus dan pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam
lambung, menghambat sekresi bikarbonat pankreas, mempercepat
pengosongan cairan lambung, dan menurunkan pH duodenum. Sekresi asam
lambung meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin.
Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat
penghambat asam lambung) dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam
lambung pada malam hari, dimana hal tersebut memegang peranan penting
dalam proses timbulnya peradangan pada mukosa lambung.
Rokok dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi
bikarbonat dan aliran darah di mukosa), memperburuk peradangan, dan
berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori. Merokok juga dapat menghambat penyembuhan spontan dan meningkatkan risiko kekambuhan tukak peptik (Beyer, 2004).
Kebiasaan
merokok menambah sekresi asam lambung, yang mengakibatkan bagi perokok
menderita penyakit lambung (gastritis) sampai tukak lambung. Penyembuhan
berbagai penyakit di saluran cerna juga lebih sulit selama orang
tersebut tidak berhenti merokok (Departemen Kesehatan RI, 2001).
3.5 AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid)
Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan gastritis erosif adalah aspirin dan sebagian besar obat anti inflamasi non steroid (Suyono, 2001).
Asam
asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin. Asam
asetil salisilat merupakan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS)
turunan asam karboksilat derivat asam salisilat yang dapat dipakai
secara sistemik.
Obat
AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia heterogen
menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis
prostaglandin dan prekursor tromboksan dari asam arakhidonat. Siklooksigenase merupakan
enzim yang penting untuk pembentukkan prostaglandin dari asam
arakhidonat. Prostaglandin mukosa merupakan salah satu faktor defensive
mukosa lambung yang amat penting, selain menghambat produksi
prostaglandin mukosa, aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod tertentu
dapat merusak mukosa secara topikal, kerusakan topikal terjadi karena
kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga dapat
merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi
nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh
lambung, sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu. Jika pemakaian obat-obat tersebut
hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil.
Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus atau berlebihan
dapat mengakibatkan gastritis dan ulkus peptikum. Pemakaian setiap hari selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan gastritis (Rosniyanti, 2010).
3.6 Stress
Stress merupakan
reaksi fisik, mental, dan kimia dari tubuh terhadap situasi yang
menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan
seseorang. Definisi lain menyebutkan bahwa stress
merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi mental, fisik,
emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat
mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (Potter, 2005).
1. Stress Psikis
Produksi asam lambung akan meningkat pada keadaan stress, misalnya pada beban kerja berat, panik dan tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkat dapat mengiritasi mukosa lambung dan jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan dapat menyebabkan terjadinya gastritis.
Bagi sebagian orang, keadaan stres umumnya tidak dapat dihindari. Oleh
karena itu, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara efektif dengan
cara diet sesuai dengan kebutuhan nutrisi, istirahat cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup (Friscaan, 2010).
2. Stress Fisik
Stress
fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar, refluks empedu
atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga ulkus serta pendarahan pada lambung. Perawatan
terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan
peradangan pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang
menjadi gastritis dan ulkus peptik.
Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi
biasanya sementara, tapi dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan
tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis dinding lambung serta
merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung (Anonim, 2010).
Refluks dari empedu juga dapat menyebabkan gastritis. Bile
(empedu) adalah cairan yang membantu mencerna lemak-lemak dalam tubuh.
Cairan ini diproduksi oleh hati. Ketika dilepaskan, empedu akan melewati
serangkaian saluran kecil dan menuju ke usus kecil. Dalam kondisi
normal, sebuah otot sphincter yang berbentuk seperti cincin (pyloric valve)
akan mencegah empedu mengalir balik ke dalam lambung. Tapi jika katup
ini tidak bekerja dengan benar, maka empedu akan masuk ke dalam lambung
dan mengakibatkan peradangan dan gastritis.
3.7 Alkohol
Alkohol
sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan
kemampuannya sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang
terdapat dalam membran sel memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel
dan menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh karena itu alkohol
dianggap toksik atau racun. Alkohol yang terdapat dalam minuman seperti
bir, anggur, dan minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk etil
alkohol atau etanol (Almatsier, 2002).
Organ
tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan
hati, oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam
jangka panjang tidak hanya berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi
juga kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol merangsang
produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual,
sedangkan dalam jumlah banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung
dan duodenum. Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung,
memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak
peptik. Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan mencerna dan
menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan
morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer 2004).
3.8 Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah kuman Gram negatif, basil yang berbentuk kurva dan batang. Helicobacter pylori adalah suatu bakteri yang menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis (gastritis) pada manusia. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh bakteri Helicobacter pylori yang
hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.
Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat
ditularkan, namun diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur
oral atau akibat memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh
bakteri ini. Infeksi Helicobacter pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi Helicobacter pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya ulkus peptikum dan penyebab tersering terjadinya gastritis (Prince, 2005).
3.9 Usia
Usia tua
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gastritis
dibandingkan dengan usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan
bertambahnya usia mukosa gaster cenderung menjadi tipis sehingga lebih
cenderung memiliki infeksi Helicobacter Pylory atau gangguan
autoimun daripada orang yang lebih muda. Sebaliknya,jika mengenai usia
muda biasanya lebih berhubungan dengan pola hidup yang tidak sehat.
Kejadian
gastritis kronik, terutama gastritis kronik antrum meningkat sesuai
dengan peningkatan usia. Di negara Barat, populasi yang usianya pada
dekade ke-6 hampir 80% menderita gastritis kronik dan menjadi 100% pada
saat usia mencapai dekade ke-7. Selain mikroba dan proses imunologis,
faktor lain juga berpengaruh terhadap patogenesis Gastritis adalah
refluks kronik cairan penereatotilien, empedu dan lisolesitin (Suyono, 2001).
4 Patofisiologi
Patofisiologi
dasar dari gastritis adalah gangguan keseimbangan faktor agresif (asam
lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan
aspirin atau obat anti inflamasi non steroid (AINS)
lainnya, obat-obatan kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol, menelan
substansi erosif, merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut
dapat mengancam ketahanan mukosa lambung. Gastritis dapat menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (Brunner, 2000).
Gaster
memiliki lapisan epitel mukosa yang secara konstan terpapar oleh
berbagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi integritas mukosanya,
seperti asam lambung, pepsinogen/pepsin dan garam empedu. Sedangkan
faktor eksogennya adalah obat-obatan, alkohol dan bakteri yang dapat
merusak integritas epitel mukosa lambung, misalnya Helicobacter pylori. Oleh
karena itu, gaster memiliki dua faktor yang sangat melindungi
integritas mukosanya,yaitu faktor defensif dan faktor agresif. Faktor
defensif meliputi produksi mukus yang didalamnya terdapat prostaglandin
yang memiliki peran penting baik dalam mempertahankan maupun menjaga
integritas mukosa lambung, kemudian sel-sel epitel yang bekerja
mentransport ion untuk memelihara pH
intraseluler dan produksi asam bikarbonat serta sistem mikrovaskuler
yang ada dilapisan subepitelial sebagai komponen utama yang menyediakan
ion HCO3- sebagai
penetral asam lambung dan memberikan suplai mikronutrien dan oksigenasi
yang adekuat saat menghilangkan efek toksik metabolik yang merusak
mukosa lambung. Gastritis terjadi sebagai akibat dari mekanisme pelindung ini hilang atau rusak, sehingga dinding lambung tidak memiliki pelindung terhadap asam lambung (Prince, 2005)
Obat-obatan,
alkohol, pola makan yang tidak teratur, stress, dan lain-lain dapat
merusak mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung, dan
memungkinkan difusi kembali asam pepsin ke dalam
jaringan lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respons mukosa
lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan
regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali
menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi yang terus menerus,
jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat
seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan
peradangan dan nekrosis pada dinding lambung. Nekrosis dapat
mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan akibat berikutnya
perdarahan dan peritonitis.
Gastritis
kronik dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar lambung dan
keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna abu-abu atau
kehijauan (gastritis atropik). Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan
mengakibatkan berkurangnya sekresi lambung dan timbulnya anemia
pernisiosa. Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan untuk
karsinoma lambung. Gastritis kronik dapat pula terjadi bersamaan dengan
ulkus peptikum (Suyono, 2001).
5 Manifestasi Klinis
Sindrom
dispepsia berupa berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah
merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula
perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian
disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika
dilakukan anamnesis lebih dalam, tanpa riwayat penggunaan obat-obatan
atau bahan kimia tertentu (Suyono, 2001).
Ulserasi superfisial dapat
terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi, ketidaknyamanan abdomen (dengan
sakit kepala, mual dan anoreksia) dan dapat terjadi muntah, serta
cegukan beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare dapat
terjadi jika makanan pengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi jika sudah
mencapai usus besar, pasien biasanya sembuh kira-kira dalam sehari
meskipun nafsu makan kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari (Ester,
2001).
6 Komplikasi Gastritis
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), komplikasi
yang timbul pada gastritis, yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) berupa hematemesis dan melena, berakhir dengan syok hemoragik,
terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.
Jika
dibiarkan tidak terawat, gastritis akan dapat menyebabkan ulkus peptikum
dan pendarahan pada lambung. Beberapa bentuk gastritis kronis dapat
meningkatkan resiko kanker lambung, terutama jika terjadi penipisan
secara terus menerus pada dinding lambung dan perubahan pada sel-sel di
dinding lambung (Prince, 2005).
Kebanyakan kanker lambung adalah adenocarcinoma, yang bermula pada sel-sel kelenjar dalam mukosa. Adenocarcinoma tipe 1 biasanya terjadi akibat infeksi Helicobacter pylori. Kanker jenis lain yang terkait dengan infeksi akibat Helicobacter pylori adalah MALT (mucosa associated lyphoid tissue) lymphomas,
kanker ini berkembang secara perlahan pada jaringan sistem kekebalan
pada dinding lambung. Kanker jenis ini dapat disembuhkan bila ditemukan
pada tahap awal (Anonim, 2010).
7 Penatalaksanaan Gastritis
Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), penatalaksanaan
medikal untuk gastritis akut adalah dengan menghilangkan etiologinya,
diet lambung dengan posisi kecil dan sering. Obat-obatan ditujukan untuk
mengatur sekresi asam lambung berupa antagonis reseptor H2 inhibition pompa proton, antikolinergik dan antasid juga ditujukan sebagai sifoprotektor berupa sukralfat dan prostaglandin.
Penatalaksanaan
sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien dengan resiko
tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan menghentikan
obat yang dapat menjadi kuasa dan pengobatan suportif. Pencegahan dapat
dilakukan dengan pemberian antasida dan antagonis H2 sehingga mencapai pH lambung 4. Meskipun hasilnya masih jadi perdebatan, tetapi pada umumnya tetap dianjurkan.
Pencegahan
ini terutama bagi pasien yang menderita penyakit dengan keadaan klinis
yang berat. Untuk pengguna aspirin atau anti inflamasi nonsteroid
pencegahan yang terbaik adalah dengan Misaprostol, atau Derivat Prostaglandin Mukosa.
Pemberian antasida, antagonis H2
dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek teraupetiknya masih
diragukan. Biasanya perdarahan akan segera berhenti bila keadaan si
pasien membaik dan lesi mukosa akan segera normal kembali, pada sebagian
pasien biasa mengancam jiwa. Tindakan-tindakan itu misalnya dengan
endoskopi skleroterapi, embolisasi arteri gastrika kiri atau
gastrektomi. Gastrektomi sebaiknya dilakukan hanya atas dasar abolut (Suyono, 2001).
Penatalaksanaan untuk gastritis kronis adalah ditandai oleh progesif epitel kelenjar disertai sel parietal dan chief cell.
Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai permukaan yang rata,
Gastritis kronis ini digolongkan menjadi dua kategori tipe A (altrofik
atau fundal) dan tipe B (antral).
Pengobatan gastritis kronis bervariasi, tergantung pada penyakit yang dicurigai. Bila terdapat ulkus duodenum, dapat diberikan antibiotik untuk membatasi Helicobacter Pylory. Namun demikian,
lesi tidak selalu muncul dengan gastritis kronis alkohol dan obat yang
diketahui mengiritasi lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia
defisiensi besi (yang disebabkan oleh perdarahan kronis), maka penyakit
ini harus diobati, pada anemia pernisiosa harus diberi pengobatan
vitamin B12 dan terapi yang sesuai (Chandrasoma, 2005 : 522).
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet dan meningkatkan istirahat, mengurangi dan memulai farmakoterapi. Helicobacter Pylory dapat diatasi dengan antibiotik (seperti Tetrasiklin atau Amoxicillin) dan garam bismut (Pepto bismol). Pasien dengan gastritis tipe A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12 (Chandrasoma, 2005 : 522).
8 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai macam tes, diantaranya :
1. Tes Darah
Tes darah untuk melihat adanya antibodi terhadap serangan Helicobacter pylori. Hasil test yang positif menunjukkan bahwa seseorang pernah mengalami kontak dengan bakteri Helicobacter pylori dalam hidupnya, tetapi keadaan tersebut bukan berarti seseorang telah terinfeksi Helicobacter pylori. Tes darah juga dapat digunakan untuk mengecek terjadinya anemia yang mungkin saja disebabkan oleh perdarahan karena gastritis (Anonim, 2010).
2. Breath Test
Test ini menggunakan tinja sebagai sampel dan ditujukan untuk mengetahui apakah ada infeksi Helicobacter pylori dalam tubuh seseorang.
3. Stool Test
Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya Helicobacter pylori dalam sampel tinja seseorang. Hasil test yang positif menunjukkan orang tersebut terinfeksi Helicobacter pylori. Biasanya dokter juga menguji adanya darah dalam tinja yang menandakan adanya perdarahan dalam lambung karena gastritis.
4. Rontgen
Test
ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat
dilihat dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium
terlebih dahulu sebelum dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi
saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di rontgen.
5. Endoskopi
Test
ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin
tidak dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara
memasukkan sebuah selang kecil yang fleksibel (endoskop) melalui mulut
dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian atas usus kecil.
Tenggorokan akan terlebih dahulu dimatirasakan (anestesi), sebelum
endoskop dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes
ini. Jika ada jaringan dalam saluran cerna yang terlihat mencurigakan,
dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari jaringan tersebut.
Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini
memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak
langsung disuruh pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu
sampai efek dari anestesi menghilang, kurang lebih satu atau dua jam.
Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering terjadi
adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop (Anonim,2010).
sumber : dr-suparyanto.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar