Bagi personil kesehatan
militer, bertugas untuk menolong korban cedera di medan tempur merupakan suatu
kehormatan, dan pengabdian ini memberi kepuasan tersendiri. Pengalaman di medan tempur selalu memperkaya
dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya, timbal baliknya
kemajuan ilmu kedokteran dalam kehidupan sipil sehari-hari akan dimanfaatkan
oleh masyarakat kesehatan angkatan bersenjata dan kepolisian.
Dengan runtuhnya
rezim-rezim komunis, banyak negara yang
meninjau kembali pola persiapan
angkatan bersenjata masing-masing, antara lain dengan mengurangi jumlah
personil angkatan bersenjatanya, dengan sendirinya termasuk personil kesehatan.
Kenyataan menunjukkan bahwa konflik di dunia
ini masih terus terjadi, sebagai akibat masalah implemen-tasi demokrasi,
pertentangan antaretnis, dan terorisme. Perang
konvensional jarang terjadi, digantikan oleh perang asimetris karena perbedaan
teknologi persenjataan, termasuk di dalamnya perang gerilya di tempat terpencil
maupun di kota, serta terorisme. Perubahan
pola konflik ini mengakibatkan perlunya komunitas kesehatan sipil memiliki
kemampuan mengelola kasus trauma tempur untuk mengantisipasi kemungkinan korban
tidak tertangani oleh tenaga kesehatan militer seandainya terjadi eskalasi
konflik, atau ada korban bom teroris maupun kasus cedera akibat ledakan pada kecelakaan
industri.
Korban konflik horisontal di Maluku dan Poso, maupun bom di
Kuta, Bali serta di Kedutaan Australia dan di Hotel
Ritz-Carlton Jakarta akibat perbuatan kelompok teroris yang sama, ditangani oleh tenaga
medik sipil. Karena itu para dokter di
Indonesia perlu mengenal ciri-ciri luka pertempuran agar dapat berperan dengan
baik apabila situasi memerlukan.
Kekhususan
Situasi Pertempuran
1. Lingkungan kerja relatif
tidak aman. Pada situasi tempur konvensional terutama pada peran defensif,
serangan pasukan lawan dapat mengancam instalasi kesehatan lapangan. Pada masa kini, misalnya ada ledakan bom yang
dilakukan teroris pada suatu hotel, maka Pasukan Gegana, penjinak bom dari Kepolian
Republik Indonesia (Polri) memasuki hotel tempat kejadian lebih dahulu, untuk
memastikan tidak ada bom lain yang masih belum meledak.
2. Kemungkinan pasukan dan petugas kesehatan terisolasi. Karena jenis tugas tempur
yang khusus atau akibat situasi pertempuran tertentu, suatu unit tempur dapat terisolasi, dengan akibat: tidak dapat memperoleh tambahan bekal
kesehatan maupun personil, bahkan mungkin tidak bisa berkonsultasi.
3. Korban tiba dalam jumlah banyak sekaligus
Pada kehidupan sipil sehari-hari diusahakan agar hanya pasien yang
benar-benar kritis yang dirujuk ke rumah sakit pusat trauma, sedang pasien lain
dibagi secara merata ke rumah sakit lain yang tingkatnya lebih rendah. Pada
suatu pertempuran, hal tersebut hampir selalu tidak mungkin dilakukan sehingga
terjadi penumpukan korban. Jelaslah bahwa pemilahan pasien yang dikenal dengan
istilah triase, menempati kedudukan khusus dalam pengelolaan trauma tempur, dan
umumnya sudah dimulai dari titik kumpul korban di garis terdepan.
4. Penolong terdekat adalah rekan sendiri. Seorang atau dua
orang anggota Seksi Kesehatan suatu batalyon tempur ditugasi melayani satu
kompi pasukan, yang jumlahnya pada batalyon infanteri hampir 100 orang. Di medan tempur yang sulit dan ada
kemungkinan daerah kompi membentang cukup luas, maka penolong yang selalu
tersedia adalah teman sendiri. Bekal
kesehatan yang antara lain berupa pembalut, adalah bagian dari Perangkat
Prajurit Pasukan (Katprapas). Bila
didekat prajurit yang terluka ada tiga orang teman, maka ada 4 Katprapas yang
bisa dimanfaatkan. Dalam latihan
pratugas, tiap prajurit satuan tempur dilatih menolong diri sendiri dan teman
terdekat dalam program penyelamatan rekan di pertempuran.
5. Logistik terbatas. Alat kesehatan habis pakai yang dibawa pasukan
tempur selalu dibatasi untuk menjaga mobilitas pasukan. Pasukan tempur tidak dilengkapi penunjang
diagnostik, alat monitor maupun peralatan rehabiltasi medik, kecuali alat
Roentgen dan elektrokardiogram pada unit Rumah Sakit Lapangan Batalyon
Kesehatan pada tingkat divisi infanteri.
Keterbatasan pelayanan medik di medan tempur yang dikenal dengan
istilah “Dukungan Kesehatan” disebabkan karena:
a.
Bekal kesehatan berupa alat kesehatan
dan obat-obatan: terbatas
b.
Kemampuan seorang petugas medik
di lapangan dalam mengangkat beban sambil bertempur: amat terbatas
c.
Kemungkinan terapi definitif
dimajukan ke garis depan: amat terbatas
d.
Kecepatan evakuasi: amat
bervariasi
6. Pengelola berganti sepanjang jalur evakuasi. Korban pertempuran di garis terdepan
ditolong oleh petugas kesehatan lapangan batalyon tempur, dievakuasi ke Pos
Pertolongan Batalyon (Poslongyon), kemudian ke Tempat Pengobatan Brigade
(Patobrig), selanjutnya ke Rumah Sakit Lapangan (Rumkitlap). Karena itu, prosedur tetap yang tertulis dan
dilatihkan sebelum tugas tempur, amat penting dan harus ditaati agar personil kesehatan pada
tingkat yang lebih tinggi mengetahui apa yang telah dilakukan terhadap korban
tempur. Dengan demikian, alat
transportasi maupun alat komunikasi terutama digunakan untuk tugas taktis
pertempuran.
7.
Tempat terapi definitif jauh dari medan tempur. Negara maju
menggunakan helikop-ter ambulans yang merupakan bagian dari satuan kesehatan
lapangan. Mereka juga memiliki tim bedah lapangan
yang mampu melakukan operasi penyelamatan jiwa dekat garis depan. Semua dilakukan agar korban tempur mendapat
terapi definitif sesegera mungkin. 13, 15-20
Pola
cedera tempur
1.
Kekhususan cedera
pada pertempuran. Pada tabel mengenai
beda pola cedera tempur dengan cedera pada kehidupan sipil sehari-hari tampak
pada bidang laju proyektil, kavitasi, keru-sakan jaringan, masa sampai mendapat
terpi definitif, lokasi luka, dan tingkat kontaminasi. Oleh karena itu, pengelolaannya pun berbeda.
Tabel: Kekhususan
Cedera pada Pertempuran
|
Kehidupan sehari-hari
|
Pertempuran
|
Laju proyektil |
Rendah
|
Tinggi
|
Kavitasi
|
Minimal
|
Signifikan
|
Kerusakan
jaringan
|
Traktus
proyektil
|
Ekstensif
|
Masa
pra-RS
|
<
30 menit
|
>
2 jam
|
Lokasi
|
Trunkus
|
Ekstremitas
|
Kontaminasi
|
Minimal
|
Signifikan
|
Dikutip dari :
Trunkey DD & Slater M :
Management of Battle Casualties, dalam Mattox, Feliciano & Moore :
Trauma, 5th Ed.,McGraw-Hill:1218, 2000.
2.
Pola mekanisme terjadinya luka pada trauma tempur. Data
dari perang rimba di Vietnam tahun 1967 – 1969, dari 7.989 kasus anggota angkatan
darat Amerika Serikat dan mariner (Bukan gambaran pertempuran tank dan
artileri, pertempuran udara atau laut, mungkin juga beda dgn perang kota)
menunjukkan pola: Fragmen proyektil 62%,
peluru 23%, kombus-tio 6%, ledakan 3%, lain-lain 6%.
3.
Bagian tubuh yang
paling banyak terluka. Data dari
Perang Vietnam tersebut di atas menunjukkan bahwa luka terjadi dengan sebaran
sebagai berikut: Jaringan lunak 62%, ekstremitas
26%, abdomen 8%, toraks 4%, leher 2%, wajah 6%, kepala 2%, dan cedera multipel 5%.
4.
Luka pada bagian
tubuh yang paling sering menyebabkan kematian. Penyebab kematian oleh luka: kepala 37%,
toraks 24%, multiple 17%, abdomen 9%,
leher 6%, wajah 3%, ekstremitas 3%, dan jaringan lunak <1%. 20
Kinematika luka tembak
Pada suatu
trauma, baik ketika tubuh membentur sesuatu atau suatu benda membentur tubuh
manusia, berlaku hukum energi kinetik (kinetic
energy) setara dengan setengah massa dikali kuadrat percepatan:
KE = 1/2 M .V2
Jelas tampak
peran kecepatan amat besar, karena ia dikuadratkan. Bila tumpuan pada permukaan tubuh berupa
bidang yang sempit atau kecil, maka kulit akan terbuka sehingga akan terjadi
trauma penetrans. Sedang pada trauma
tumpul, benturan bertumpu pada bidang yang lebih luas sehingga cedera
terdistribusi pada area tubuh yang lebih luas.
Maka kulit tidak tertembus, dan pola cederanya akan kurang
terlokalisasi.
Pada luka
tembak, makin berat proyektil yang menembus tubuh dan makin tinggi kecepatannya,
jaringan tubuh yang terpukul ke luar posisi normal akan semakin luas sehingga
rongga kerusakan yang disebut kavitas pun akan lebih luas. Ketika proyektil menembus jaringan tubuh,
akan terbentuk kavitas temporer yang lebih luas dibandingkan kavitas permanen
karena elastisitas jaringan yang tertembus. Bila proyektil menembus tulang mengakibatkan
terjadinya fragmen tulang, maka fragmen-fragmen ini akan bertindak sebagai
proyektil sehingga menyebabkan cedera yang serupa. Oleh karena cedera yang lebih luas dari apa
yang tampak, maka luka tembak memerlukan teknik operasi yang berbeda.
Tindakan terhadap korban
pertempuran
1. Resusitasi. Dokter bedah dan
anestetis di rumah sakit lapangan Yonkes Divif boleh jadi disibukkan oleh
operasi penyelamatan jiwa pada pasien yang datang sekaligus dalam jumlah banyak.
Maka resusitasi biasanya dilakukan oleh
personil kesehatan lain yang dilatih.
Teknik resusitasi yang dilakukan, pada prinsipnya sama berdasarkan
urutan prioritas ABCD.
a. Di garis terdepan suatu pertempuran, prioritas pertama adalah
keamanan penolong dan korban dari kemungkinan tembakan lawan.
b. Jalan napas dibebaskan tanpa alat.
Bila dengan alat, maka di Pos Pertolongan Batalyon idealnya yang
dipasang ialah jalan napas nasofaringeal.
c. Identifikasi pneumotoraks tension, dekompresi dengan torakosentesis
jarum pada sela iga kedua linea medioklavikularis sisi yang sakit, Tube toraks:
di Patobbrig.
d. Hentikan perdarahan eksternal dengan balut tekan, elevasi, penekanan
arteri. Kristaloid iv diberikan dengan
konsep resusitasi hipotensif, karena telah terbukti bahwa sebelum perdarahan
internal diatasi, tubuh bertahan dengan hipotensi, vasokonstriksi, dan
koagulasi. Pemberian kristaloid sampai tensi normal pada
perdarahan internal justru akan memperburuk keadaan. Di lapangan, bila waktu
evakuasi lebih dari 1 jam, negara maju menganut teknik resusitasi hipotensif
dengan cairan hipertonik volume rendah
menggu-nakan HSD:
Hypertonic Saline Dextran ( 7,5% NaCl
/ 6% Dextran-70) dosis tunggal 500 ml maksimum dua kali pemberian dalam 10-20 menit,
dapat diberikan intraoseous.
2. Teknik Operasi. Karena cedera jaringan yang
luas dan tingkat kontaminasi yang tinggi
maka pada trauma tempur, dilakukan teknik operasi khusus. Luka jaringan lunak terutama luka tembak,
dibiarkan terbuka setelah dilakukan debridemen, 5-7 hari kemudian setelah
terbukti infeksi sudah teratasi, barulah luka dijahit (Delayed Primary Suture = Jahitan
Primer yang Ditunda) atau dilakukan tandur kulit. Terhadap kerusakan organ-dalam, dilakukan
teknik operasi damage control untuk
menyelamatkan jiwa dan menghindarkan operasi berlangsung terlalu lama, yang
akan membebani satuan lapangan khususnya bila operasi dilakukan oleh tim bedah
lapangan. Patah tulang terbuka: debridemen diikuti fiksasi gips berjendela,
atau fiksasi eksternal menggunakan akrilik.
Fiksasi internal dengan implant hanya di Rumkitpus.
3. Cedera
Akibat Ledakan dan Luka Bakar. Diwaspadai kemungkinan cedera pada tiap fase ledakan. Campuran bahan bakar dan udara dapat
menghasilkan gabungan ledakan, luka bakar, dan hipoksia. Bila
cairan infuse terbatas di garis terdepan, air kelapa dapat dimanfaatkan untuk
rehidrasi per oral.
4.
Hipotermia, asidosis, dan koagulopatia:
Trias kematian pada trauma berat. Kasus trauma berat tidak jarang tiba di rumah
sakit dalam keadaan hipotermia dan asidosis, yang bila tidak ditangani dengan
baik akan disusuil dengan koagulopatia dan kematian. Pencegahan dilakukan dengan mengatasi syok
secara agresif, pasien dan cairan intravena dihangatkan, koreksi defisit faktor
koagulasi berpedoman kepada hasil lab: prothrombin
time (PT) > 1,5 kali nilai normal:
berikan fresh frozen plasma (FFP), konsentrat protrombin kompleks. APTT > 1,5 kali nilai normal, berikan
FFP. Fibrinogen kurang dari 1 gm /
liter: berikan konsentrat fibrino-gen.
Trombosit kurang dari 50 ribu / ml:
berikan trombosit. 5-7, 10-12, 18-20
Melatih Anggota Kesehatan
Lapangan Satuan Tempur
Anggota Seksi Kesehatan batalyon tempur direkrut dari masyarakat,
berbekal pendidikan umum (SLTP, SLTA umum).
Mereka dilatih agar memiliki kompetensi sebagai penolong pertama di
medan tempur. Instalasi Pendidikan Rumah
Sakit Dustira memiliki kurikulum untuk pelatihan semacam ini, dilatihkan selama
dua minggu (Suryosubianto, 2002). Pada
garis besarnya pokok bahasannya meliputi anatomi dan faal tubuh manusia secara
sederhana, menilai tanda vital agar mampu mengenal adanya ancaman jiwa, latihan
mengevaluasi cedera akibat luka tembak dan trauma lain untuk melakukan
stabilisasi, menyiapkan evakuasi, dan memilah.
Mereka harus benar-benar memahami bahwa tindakan yang dapat
menyelamatkan jiwa terdiri dari:
1.
Membuka jalan napas dan menjaga
agar jalan napas tetap terbuka
2.
Menghentikan perdarahan
eksternal dengan balut-tekan, elevasi ekstremitas, dan menekan arteri
3.
Memelihara oksigenasi organ
vital
4.
Mendiagnosis pneumothoraks
tension dan mendekompresinya dengan melakukan torakosentesis dengan jarum
suntik caliber besar di ruang antar iga linea medioklavikularis hemitoraks yang
cedera.
Tindakan yang terbukti menurunkan mortalitas dan morbiditas yaitu:
1.
Membidai fraktura dan luka jaringan
lunak yang luas
2.
Memendekkan waktu evakuasi agar
korban yang perlu terapi bedah, secepatnya menda-pat terapi definitif dengan
mengusahakan evakuasi langsung ke rumah sakit lapangan.
Memahami kedua hal tersebut di atas lebih penting daripada
mengajarkan mereka memasang infus, yang merupakan keterampilan invasif
opsional. Algoritme yang dianjurkan
untuk mengelola cedera tempur adalah sebagai berikut:
1.
Luka superfisial: akses intravena
dan cairan intravena tidak perlu
2.
Luka signifikan di ekstremitas atau trunkus:
bila koheren dan nadi teraba, hemoragi telah berhenti, pasang infus jaga
NaCl.; re-evaluasi.
3.
Hilang darah signifikan dengan
nadi hilang atau penurunan kesadaran:
a.
Balut tekan, balut hemostatik,
tourniquet percobaan.
b.
Setelah henti hemoragi: infus cairan
hipertonik 500 ml. Bila membaik, infus
jaga
c.
Bila memburuk: ulang 1x max 1 liter
4.
Respirasi baik: tunda evakuasi.
Respirasi transien atau buruk: evakuasi segera.
5.
Resusitasi hipotensif pada cedera
kepala: berbahaya.
sumber : dr. B.P. Suryosubianto
0 komentar:
Posting Komentar