Sabtu, 09 November 2013

Kekhususan Trauma Pertempuran



     Bagi personil kesehatan militer, bertugas untuk menolong korban cedera di medan tempur merupakan suatu kehormatan, dan pengabdian ini memberi kepuasan tersendiri.  Pengalaman di medan tempur selalu memperkaya dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya, timbal baliknya kemajuan ilmu kedokteran dalam kehidupan sipil sehari-hari akan dimanfaatkan oleh masyarakat kesehatan angkatan bersenjata dan kepolisian.

     Dengan runtuhnya rezim-rezim komunis, banyak negara yang
meninjau kembali pola persiapan angkatan bersenjata masing-masing, antara lain dengan mengurangi jumlah personil angkatan bersenjatanya, dengan sendirinya termasuk personil kesehatan.   Kenyataan menunjukkan bahwa konflik di dunia ini masih terus terjadi, sebagai akibat masalah implemen-tasi demokrasi, pertentangan antaretnis, dan terorisme.   Perang konvensional jarang terjadi, digantikan oleh perang asimetris karena perbedaan teknologi persenjataan, termasuk di dalamnya perang gerilya di tempat terpencil maupun di kota, serta terorisme.  Perubahan pola konflik ini mengakibatkan perlunya komunitas kesehatan sipil memiliki kemampuan mengelola kasus trauma tempur untuk mengantisipasi kemungkinan korban tidak tertangani oleh tenaga kesehatan militer seandainya terjadi eskalasi konflik, atau ada korban bom teroris maupun kasus cedera akibat ledakan pada kecelakaan industri.    
     Korban konflik horisontal di Maluku dan Poso, maupun bom di Kuta, Bali serta di Kedutaan Australia dan di Hotel Ritz-Carlton Jakarta akibat perbuatan  kelompok teroris yang sama, ditangani oleh tenaga medik sipil.  Karena itu para dokter di Indonesia perlu mengenal ciri-ciri luka pertempuran agar dapat berperan dengan baik apabila situasi memerlukan.

Kekhususan Situasi Pertempuran
1.  Lingkungan kerja relatif tidak aman.   Pada situasi tempur konvensional terutama pada peran defensif, serangan pasukan lawan dapat mengancam instalasi kesehatan lapangan.  Pada masa kini, misalnya ada ledakan bom yang dilakukan teroris pada suatu hotel, maka Pasukan Gegana, penjinak bom dari Kepolian Republik Indonesia (Polri) memasuki hotel tempat kejadian lebih dahulu, untuk memastikan tidak ada bom lain yang masih belum meledak.

2.  Kemungkinan pasukan dan petugas kesehatan terisolasi.   Karena jenis tugas tempur yang khusus atau akibat situasi pertempuran tertentu, suatu unit tempur  dapat terisolasi, dengan akibat:  tidak dapat memperoleh tambahan bekal kesehatan maupun personil, bahkan mungkin tidak bisa berkonsultasi.

3.  Korban tiba dalam jumlah banyak sekaligus
Pada kehidupan sipil sehari-hari diusahakan agar hanya pasien yang benar-benar kritis yang dirujuk ke rumah sakit pusat trauma, sedang pasien lain dibagi secara merata ke rumah sakit lain yang tingkatnya lebih rendah. Pada suatu pertempuran, hal tersebut hampir selalu tidak mungkin dilakukan sehingga terjadi penumpukan korban. Jelaslah bahwa pemilahan pasien yang dikenal dengan istilah triase, menempati kedudukan khusus dalam pengelolaan trauma tempur, dan umumnya sudah dimulai dari titik kumpul korban di garis terdepan.

4.  Penolong terdekat adalah rekan sendiri.   Seorang atau dua orang anggota Seksi Kesehatan suatu batalyon tempur ditugasi melayani satu kompi pasukan, yang jumlahnya pada batalyon infanteri hampir 100 orang.  Di medan tempur yang sulit dan ada kemungkinan daerah kompi membentang cukup luas, maka penolong yang selalu tersedia adalah teman sendiri.  Bekal kesehatan yang antara lain berupa pembalut, adalah bagian dari Perangkat Prajurit Pasukan (Katprapas).  Bila didekat prajurit yang terluka ada tiga orang teman, maka ada 4 Katprapas yang bisa dimanfaatkan.  Dalam latihan pratugas, tiap prajurit satuan tempur dilatih menolong diri sendiri dan teman terdekat dalam program penyelamatan rekan di pertempuran.

5.  Logistik terbatas.    Alat kesehatan habis pakai yang dibawa pasukan tempur selalu dibatasi untuk menjaga mobilitas pasukan.  Pasukan tempur tidak dilengkapi penunjang diagnostik, alat monitor maupun peralatan rehabiltasi medik, kecuali alat Roentgen dan elektrokardiogram pada unit Rumah Sakit Lapangan Batalyon Kesehatan pada tingkat divisi infanteri.
Keterbatasan pelayanan medik di medan tempur yang dikenal dengan istilah “Dukungan Kesehatan” disebabkan karena:
a.       Bekal kesehatan berupa alat kesehatan dan obat-obatan:  terbatas
b.      Kemampuan seorang petugas medik di lapangan dalam mengangkat beban sambil bertempur:  amat terbatas
c.       Kemungkinan terapi definitif dimajukan ke garis depan:  amat terbatas
d.      Kecepatan evakuasi:  amat bervariasi

6.  Pengelola berganti sepanjang jalur evakuasi.   Korban pertempuran di garis terdepan ditolong oleh petugas kesehatan lapangan batalyon tempur, dievakuasi ke Pos Pertolongan Batalyon (Poslongyon), kemudian ke Tempat Pengobatan Brigade (Patobrig), selanjutnya ke Rumah Sakit Lapangan (Rumkitlap).  Karena itu, prosedur tetap yang tertulis dan dilatihkan sebelum tugas tempur, amat penting  dan harus ditaati agar personil kesehatan pada tingkat yang lebih tinggi mengetahui apa yang telah dilakukan terhadap korban tempur.  Dengan demikian, alat transportasi maupun alat komunikasi terutama digunakan untuk tugas taktis pertempuran.

7.                  Tempat terapi definitif jauh dari medan tempur.  Negara maju menggunakan helikop-ter ambulans yang merupakan bagian dari satuan kesehatan lapangan.  Mereka juga memiliki tim bedah lapangan yang mampu melakukan operasi penyelamatan jiwa dekat garis depan.  Semua dilakukan agar korban tempur mendapat terapi definitif sesegera mungkin. 13, 15-20


Pola cedera tempur
1.                  Kekhususan cedera pada pertempuran.   Pada tabel mengenai beda pola cedera tempur dengan cedera pada kehidupan sipil sehari-hari tampak pada bidang laju proyektil, kavitasi, keru-sakan jaringan, masa sampai mendapat terpi definitif, lokasi luka, dan tingkat kontaminasi.  Oleh karena itu, pengelolaannya pun berbeda.

Tabel:   Kekhususan Cedera pada Pertempuran

Kehidupan sehari-hari
Pertempuran
Laju proyektil
Rendah
Tinggi
Kavitasi
Minimal
Signifikan
Kerusakan jaringan
Traktus proyektil
Ekstensif
Masa pra-RS
< 30 menit
> 2 jam
Lokasi
Trunkus
Ekstremitas
Kontaminasi
Minimal
Signifikan
Dikutip dari :   Trunkey DD & Slater M :  Management of Battle Casualties, dalam Mattox, Feliciano & Moore : Trauma, 5th Ed.,McGraw-Hill:1218, 2000.

2.                  Pola mekanisme terjadinya luka pada trauma tempur.   Data dari perang rimba di Vietnam tahun 1967 – 1969, dari 7.989 kasus anggota angkatan darat Amerika Serikat dan mariner (Bukan gambaran pertempuran tank dan artileri, pertempuran udara atau laut, mungkin juga beda dgn perang kota) menunjukkan pola:  Fragmen proyektil 62%, peluru 23%, kombus-tio 6%, ledakan 3%, lain-lain 6%.

3.                     Bagian tubuh yang paling banyak terluka.   Data dari Perang Vietnam tersebut di atas menunjukkan bahwa luka terjadi dengan sebaran sebagai berikut:   Jaringan lunak 62%, ekstremitas 26%, abdomen 8%, toraks 4%, leher 2%, wajah 6%, kepala 2%, dan cedera multipel 5%.

4.                  Luka pada bagian tubuh yang paling sering menyebabkan kematian.  Penyebab kematian oleh luka:  kepala  37%, toraks 24%, multiple 17%, abdomen     9%, leher 6%, wajah 3%, ekstremitas 3%, dan jaringan lunak <1%. 20


Kinematika luka tembak

Pada suatu trauma, baik ketika tubuh membentur sesuatu atau suatu benda membentur tubuh manusia, berlaku hukum energi kinetik (kinetic energy) setara dengan setengah massa dikali kuadrat percepatan:                      

                                                                 KE = 1/2 M .V2
  

Jelas tampak peran kecepatan amat besar, karena ia dikuadratkan.  Bila tumpuan pada permukaan tubuh berupa bidang yang sempit atau kecil, maka kulit akan terbuka sehingga akan terjadi trauma penetrans.  Sedang pada trauma tumpul, benturan bertumpu pada bidang yang lebih luas sehingga cedera terdistribusi pada area tubuh yang lebih luas.  Maka kulit tidak tertembus, dan pola cederanya akan kurang terlokalisasi.
Pada luka tembak, makin berat proyektil yang menembus tubuh dan makin tinggi kecepatannya, jaringan tubuh yang terpukul ke luar posisi normal akan semakin luas sehingga rongga kerusakan yang disebut kavitas pun akan lebih luas.  Ketika proyektil menembus jaringan tubuh, akan terbentuk kavitas temporer yang lebih luas dibandingkan kavitas permanen karena elastisitas jaringan yang tertembus.  Bila proyektil menembus tulang mengakibatkan terjadinya fragmen tulang, maka fragmen-fragmen ini akan bertindak sebagai proyektil sehingga menyebabkan cedera yang serupa.  Oleh karena cedera yang lebih luas dari apa yang tampak, maka luka tembak memerlukan teknik operasi yang berbeda.


Tindakan terhadap korban pertempuran

1.  Resusitasi.  Dokter bedah dan anestetis di rumah sakit lapangan Yonkes Divif boleh jadi disibukkan oleh operasi penyelamatan jiwa pada pasien yang datang sekaligus dalam jumlah banyak.  Maka resusitasi biasanya dilakukan oleh personil kesehatan lain yang dilatih.   Teknik resusitasi yang dilakukan, pada prinsipnya sama berdasarkan urutan prioritas ABCD.
a.       Di garis terdepan suatu pertempuran, prioritas pertama adalah keamanan penolong dan korban dari kemungkinan tembakan lawan.
b.      Jalan napas dibebaskan tanpa alat.  Bila dengan alat, maka di Pos Pertolongan Batalyon idealnya yang dipasang ialah jalan napas nasofaringeal.
c.       Identifikasi pneumotoraks tension, dekompresi dengan torakosentesis jarum pada sela iga kedua linea medioklavikularis sisi yang sakit,  Tube toraks:  di Patobbrig.
d.      Hentikan perdarahan eksternal dengan balut tekan, elevasi, penekanan arteri.  Kristaloid iv diberikan dengan konsep resusitasi hipotensif, karena telah terbukti bahwa sebelum perdarahan internal diatasi, tubuh bertahan dengan hipotensi, vasokonstriksi, dan koagulasi.  Pemberian kristaloid sampai tensi normal pada perdarahan internal justru akan memperburuk keadaan. Di lapangan, bila waktu evakuasi lebih dari 1 jam, negara maju menganut teknik resusitasi hipotensif dengan cairan hipertonik volume rendah  menggu-nakan HSD: Hypertonic Saline Dextran ( 7,5% NaCl / 6% Dextran-70) dosis tunggal 500 ml maksimum dua kali pemberian dalam 10-20 menit, dapat diberikan intraoseous.  

2.   Teknik Operasi.   Karena cedera jaringan yang luas dan tingkat kontaminasi  yang tinggi maka pada trauma tempur, dilakukan teknik operasi khusus.   Luka jaringan lunak terutama luka tembak, dibiarkan terbuka setelah dilakukan debridemen, 5-7 hari kemudian setelah terbukti infeksi sudah teratasi, barulah luka dijahit (Delayed Primary Suture = Jahitan Primer yang Ditunda) atau dilakukan tandur kulit.   Terhadap kerusakan organ-dalam, dilakukan teknik operasi damage control untuk menyelamatkan jiwa dan menghindarkan operasi berlangsung terlalu lama, yang akan membebani satuan lapangan khususnya bila operasi dilakukan oleh tim bedah lapangan.  Patah tulang terbuka:  debridemen diikuti fiksasi gips berjendela, atau fiksasi eksternal menggunakan akrilik.  Fiksasi internal dengan implant hanya di Rumkitpus.

3.  Cedera Akibat Ledakan dan Luka Bakar.   Diwaspadai kemungkinan cedera pada tiap fase ledakan.     Campuran bahan bakar dan udara dapat menghasilkan gabungan ledakan, luka bakar, dan hipoksia.   Bila cairan infuse terbatas di garis terdepan, air kelapa dapat dimanfaatkan untuk rehidrasi per oral.

4. Hipotermia, asidosis, dan koagulopatia:  Trias kematian pada trauma berat.  Kasus trauma berat tidak jarang tiba di rumah sakit dalam keadaan hipotermia dan asidosis, yang bila tidak ditangani dengan baik akan disusuil dengan koagulopatia dan kematian.  Pencegahan dilakukan dengan mengatasi syok secara agresif, pasien dan cairan intravena dihangatkan, koreksi defisit faktor koagulasi berpedoman kepada hasil lab:  prothrombin time (PT) > 1,5 kali nilai normal:  berikan fresh frozen plasma (FFP), konsentrat protrombin kompleks.  APTT > 1,5 kali nilai normal, berikan FFP.  Fibrinogen kurang dari 1 gm / liter: berikan konsentrat fibrino-gen.  Trombosit kurang dari 50 ribu / ml:  berikan trombosit. 5-7, 10-12, 18-20
 


Melatih Anggota Kesehatan Lapangan Satuan Tempur

Anggota Seksi Kesehatan batalyon tempur direkrut dari masyarakat, berbekal pendidikan umum (SLTP, SLTA umum).  Mereka dilatih agar memiliki kompetensi sebagai penolong pertama di medan tempur.  Instalasi Pendidikan Rumah Sakit Dustira memiliki kurikulum untuk pelatihan semacam ini, dilatihkan selama dua minggu (Suryosubianto, 2002).  Pada garis besarnya pokok bahasannya meliputi anatomi dan faal tubuh manusia secara sederhana, menilai tanda vital agar mampu mengenal adanya ancaman jiwa, latihan mengevaluasi cedera akibat luka tembak dan trauma lain untuk melakukan stabilisasi, menyiapkan evakuasi, dan memilah.
Mereka harus benar-benar memahami bahwa tindakan yang dapat menyelamatkan jiwa terdiri dari:
1.      Membuka jalan napas dan menjaga agar jalan napas tetap terbuka 
2.      Menghentikan perdarahan eksternal dengan balut-tekan, elevasi ekstremitas, dan menekan arteri
3.      Memelihara oksigenasi organ vital     
4.      Mendiagnosis pneumothoraks tension dan mendekompresinya dengan melakukan torakosentesis dengan jarum suntik caliber besar di ruang antar iga linea medioklavikularis hemitoraks yang cedera.

Tindakan yang terbukti menurunkan mortalitas dan morbiditas yaitu:
1.      Membidai fraktura dan luka jaringan lunak yang luas
2.      Memendekkan waktu evakuasi agar korban yang perlu terapi bedah, secepatnya menda-pat terapi definitif dengan mengusahakan evakuasi langsung ke rumah sakit lapangan.

Memahami kedua hal tersebut di atas lebih penting daripada mengajarkan mereka memasang infus, yang merupakan keterampilan invasif opsional.  Algoritme yang dianjurkan untuk mengelola cedera tempur adalah sebagai berikut:
1.      Luka superfisial: akses intravena dan cairan intravena tidak perlu
2.      Luka signifikan di ekstremitas  atau  trunkus:  bila koheren dan nadi teraba, hemoragi telah berhenti, pasang infus jaga NaCl.; re-evaluasi.
3.      Hilang darah signifikan dengan nadi hilang atau penurunan kesadaran:
a.       Balut tekan, balut hemostatik, tourniquet percobaan.  
b.      Setelah henti hemoragi: infus cairan hipertonik 500 ml.  Bila membaik, infus jaga
c.       Bila memburuk: ulang 1x max 1 liter
4.      Respirasi baik: tunda evakuasi. Respirasi transien atau buruk: evakuasi segera.
5.      Resusitasi hipotensif pada cedera kepala:   berbahaya.

sumber : dr. B.P. Suryosubianto

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Created by Trinomi